Please ensure Javascript is enabled for purposes of Kementerian Pertanian RI

Analisis Mendalam Dinamika Sektor Peternakan Babi di Lampung: Tantangan Pasar, Dampak ASF, dan Kepatuhan Regulasi Berdasarkan Studi Kasus di Lampung dan Bali

  • 29/08/2025 12:52:58
  • By : Adminbvl
  • 2440
Analisis Mendalam Dinamika Sektor Peternakan Babi di Lampung: Tantangan Pasar, Dampak ASF, dan Kepatuhan Regulasi Berdasarkan Studi Kasus di Lampung dan Bali

 

Tim Epidemiologi, Bvet Lampung

 

1. Ikhtisar Eksekutif

Laporan ini menyajikan analisis komprehensif terhadap dinamika sektor peternakan babi di Indonesia, berfokus pada hasil diskusi lapangan dengan pelaku usaha di Lampung dan Bali. Temuan utama menunjukkan bahwa persepsi pasar yang "lesu" di Lampung dan adanya disparitas harga yang signifikan, di mana harga di Bali dilaporkan di bawah Rp 30.000 per kilogram, adalah cerminan dari tantangan struktural yang lebih dalam. Analisis terperinci mengindikasikan bahwa data harga yang disebutkan dalam diskusi kemungkinan besar merupakan informasi yang sudah usang, mencerminkan periode krisis pasca-wabah African Swine Fever (ASF), di mana harga anjlok akibat panic selling. Data terkini justru menunjukkan harga di Bali berada di kisaran Rp 52.000 hingga Rp 55.000 per kilogram, menandakan pemulihan pasar yang signifikan.

 

Laporan ini juga mengonfirmasi bahwa penyakit ASF adalah faktor pemicu utama yang membentuk lanskap industri saat ini. Kerugian yang dialami seorang peternak, Dana Punia, akibat penularan dari daging mentah yang dibawa oleh anak kandang, adalah studi kasus yang memperkuat temuan ilmiah mengenai penularan virus melalui material yang terkontaminasi. Dampak ekonomi dari wabah ini sangat masif, dengan kerugian di Bali diperkirakan mencapai Rp 2 triliun. Lebih lanjut, analisis terhadap klaim pedagang mengenai mortalitas rendah dalam pengiriman ke Sulawesi mengungkapkan adanya persepsi risiko yang terdistorsi. Tingkat kematian sebesar 25% (10 dari 40 ekor) yang dianggap "tidak sebesar itu" menunjukkan betapa parahnya tantangan logistik yang dihadapi. Kepatuhan terhadap Peraturan Menteri Pertanian Nomor 17 Tahun 2023 tentang pengawasan lalu lintas hewan menjadi kunci untuk memitigasi risiko ini, didukung oleh peran Balai Veteriner Lampung yang berfokus pada diagnostik, edukasi, dan kemitraan strategis.

 

 

2. Pendahuluan

Sektor peternakan babi di Indonesia memiliki peran vital, terutama di daerah-daerah dengan populasi non-muslim yang signifikan seperti Bali, Sumatera Utara, dan Sulawesi. Namun, industri ini telah menghadapi guncangan besar, terutama sejak masuknya wabah African Swine Fever (ASF) ke Indonesia pada akhir tahun 2019. Keresahan yang timbul akibat penyakit ini tidak hanya menciptakan kerugian finansial yang luar biasa bagi peternak, tetapi juga mengubah dinamika pasar dan logistik secara fundamental.  

Laporan ini disusun berdasarkan hasil perjalanan dinas yang melibatkan diskusi langsung dengan para pelaku industri di Lampung dan Bali. Tujuannya adalah untuk menganalisis dan mengkontekstualisasikan informasi yang didapat dari diskusi tersebut dengan data riset yang kredibel dari berbagai sumber. Melalui pendekatan ini, laporan ini berupaya memberikan pemahaman yang mendalam dan berbasis bukti mengenai akar permasalahan yang dihadapi, tantangan logistik, serta kerangka regulasi yang ada. Struktur laporan ini akan mengalir dari analisis pasar, investigasi dampak ASF dan logistik, hingga evaluasi peran regulator, diakhiri dengan rekomendasi strategis untuk pemulihan dan keberlanjutan industri.

 

3. Analisis Dinamika Pasar: Menavigasi Disparitas dan Inkonsistensi Harga

Diskusi dengan pedagang ternak di Lampung mengungkap kondisi pasar yang dianggap "lesu" dengan harga babi hidup di atas Rp 30.000 per kilogram. Persepsi ini diperkuat oleh perbandingan dengan harga di Bali yang secara anekdotal disebutkan "kurang dari 30 ribu" per kilogram. Namun, analisis data riset menunjukkan adanya kontradiksi signifikan yang menuntut pemahaman lebih dalam tentang fluktuasi pasar.

 

Data dari April 2025 menunjukkan bahwa harga babi hidup di Bali menjelang perayaan Galungan justru mencapai Rp 52.000 hingga Rp 53.000 per kilogram. 1 Bahkan, harga ini dapat meningkat hingga batas maksimal yang disepakati sebesar   Rp 55.000 per kilogram. Data harga yang tinggi ini juga selaras dengan temuan di wilayah Sumatera Utara, di mana harga babi hidup pada tahun 2022 pernah mencapai   Rp 70.000 per kilogram.  

 

Kontradiksi antara informasi harga yang diperoleh dalam diskusi dengan data riset yang lebih baru menunjukkan bahwa persepsi pedagang di Lampung didasarkan pada informasi yang usang atau terbatas. Kemungkinan besar, data harga "di bawah 30 ribu" di Bali merujuk pada periode krisis parah pasca-wabah ASF, di mana banyak peternak terpaksa melakukan penjualan panik (panic selling). Sebaliknya, data riset tahun 2025 mencerminkan pasar yang telah memasuki fase pemulihan, dengan harga yang kembali stabil bahkan mengalami lonjakan musiman menjelang hari raya. Hal ini mengisyaratkan bahwa meskipun sentimen "lesu" masih ada, sektor peternakan babi di Bali telah menunjukkan resiliensi dan pemulihan yang nyata.

 

Persepsi pasar ini juga tercermin dalam pernyataan seorang individu bernama Wayan Johan, yang menyatakan keengganan untuk beternak babi karena "barangnya sudah tidak ada dan harganya mahal." Pernyataan ini adalah konsekuensi logis dari dinamika pasar pasca-wabah ASF. Tingkat kematian babi yang sangat tinggi akibat virus ini menyebabkan populasi ternak menurun drastis, menciptakan kelangkaan pasokan yang tak terhindarkan. Sesuai hukum dasar ekonomi, kelangkaan ini kemudian mendorong kenaikan harga. Sentimen Wayan Johan menunjukkan adanya hambatan signifikan bagi peternak untuk kembali berinvestasi di industri ini, yang pada akhirnya dapat memperlambat laju pemulihan populasi dan keberlanjutan pasokan babi secara nasional.

 

Tabel 1 berikut menyajikan perbandingan data harga untuk mengklarifikasi inkonsistensi yang ada dan memberikan konteks yang lebih luas.

 Lokasi

Harga (Rp/kg)

Sumber Data

Tanggal/Periode Data

Bali

< 30.000

Diskusi Lapangan

-

Lampung

> 30.000

Diskusi Lapangan

-

Bali

52.000 - 53.000

Riset  

April 2025

Bali (maksimal)

55.000

Riset  

April 2025

Toba, Sumut

hingga 70.000

Riset  

2022

4. Analisis Dampak African Swine Fever (ASF): Studi Kasus dan Konsekuensi Ekonomi Makro

Wabah African Swine Fever (ASF) merupakan penyakit yang sangat infeksius dan fatal pada babi, disebabkan oleh virus DNA dari famili Asfarviridae. Meskipun tidak bersifat zoonosis dan tidak menular ke manusia, virus ini memiliki dampak ekonomi yang luar biasa. Penularannya sangat cepat dengan tingkat mortalitas yang dapat mencapai lebih dari 90%.  

 

Kasus yang menimpa peternak bernama Dana Punia adalah contoh nyata bagaimana ASF dapat menghancurkan usaha peternakan. Seluruh babi di kandangnya mati akibat penularan yang berasal dari daging mentah yang dibawa oleh anak kandang. Kasus ini secara langsung menguatkan temuan dalam penelitian yang mengidentifikasi produk daging yang terkontaminasi sebagai salah satu rute penularan paling kritis. Praktik pemberian pakan sisa atau sampah dapur (  swill feeding) tanpa pemasakan yang benar juga merupakan faktor risiko yang signifikan. Pengalaman Dana Punia menunjukkan bahwa kegagalan biosekuriti "eksternal"—yaitu, langkah-langkah untuk mencegah masuknya virus dari luar kandang—dapat menimbulkan konsekuensi yang katastropik. Hal ini menggarisbawahi bahwa biosekuriti bukan hanya tentang pembatasan pergerakan hewan, tetapi juga mencakup pengawasan ketat terhadap orang, kendaraan, dan semua material yang masuk ke area peternakan.  

 

Dampak ekonomi dari wabah ASF tidak terbatas pada kerugian individu seperti Dana Punia. Laporan dari Bali mengestimasikan bahwa sekitar 500 ribu ekor babi telah mati sejak tahun 2019, mengakibatkan kerugian finansial yang diperkirakan mencapai Rp 2 triliun. Kerugian serupa juga tercatat di Kabupaten Toba, Sumatera Utara, dengan total kerugian mencapai  

 

Rp 55,37 miliar. Kerugian dalam skala triliunan rupiah ini menjelaskan mengapa pemulihan sektor ini berjalan lambat dan mengapa sentimen pasar masih sangat terpengaruh. Kerugian finansial yang masif menghancurkan modal para peternak, membuat mereka tidak memiliki dana untuk memulai kembali, yang pada akhirnya menciptakan siklus kelangkaan stok, harga mahal, dan pemulihan yang terhambat.  

 

Tabel 2 berikut merangkum rute penularan ASF dan langkah-langkah biosekuriti yang dapat diterapkan untuk mencegah kejadian serupa.

Jalur Penularan

Bukti Riset

Langkah Biosekuriti yang Direkomendasikan

Kontak Langsung dengan Babi Terinfeksi

 

Karantina babi baru selama 14 hari, batasi akses orang dan hewan lain ke area kandang.  

Daging/Produk Babi Mentah Terkontaminasi

 

Jangan gunakan pakan sisa (swill feeding). Larang membawa produk daging babi mentah ke dalam area kandang.

Material/Kendaraan Terkontaminasi

 

Sediakan bilas ban dan semprotan desinfeksi di pintu masuk peternakan, pastikan kendaraan logistik dibersihkan dengan benar.  

Serangga dan Vektor Lainnya

 

Lakukan program pengendalian ektoparasit dan serangga secara rutin.  

Pakan dan Air Minum

 

Ambil sampel sumber air minum untuk diuji, bersihkan silo penyimpanan pakan secara berkala.  

 

 

5. Tantangan Logistik dan Manajemen Risiko Pengiriman Antar-Pulau

Pengiriman babi antar-pulau merupakan komponen krusial dalam rantai pasok industri, namun juga penuh dengan risiko dan tantangan. Informasi dari Bapak Wayan Sudiarta di Ketapang, Lampung Selatan, mengenai pengiriman babi ke Sulawesi, menyoroti kompleksitas ini. Klaimnya bahwa mortalitas tidak sebesar yang diberitakan, dengan hanya 10 ekor dari 40 ekor babi yang mati, dan kemungkinan penyebabnya adalah "keletihan karena perjalanan yang sangat jauh," adalah sebuah pernyataan yang memerlukan analisis kritis.

 

Meskipun narasi tersebut mungkin dimaksudkan untuk meredakan kekhawatiran, tingkat mortalitas sebesar 10 dari 40 ekor babi adalah 25%. Angka ini jauh di atas batas yang dapat diterima dalam pengiriman komersial normal dan merupakan kerugian ekonomi yang sangat besar. Pernyataan "tidak sebesar itu" kemungkinan mencerminkan persepsi risiko yang telah terdistorsi akibat pengalaman pelaku usaha dalam menghadapi kematian massal akibat ASF. Dalam kondisi di mana kematian puluhan hingga ratusan babi sudah menjadi hal biasa, tingkat mortalitas 25% dalam satu kali pengiriman mungkin dianggap relatif kecil. Persepsi yang berbahaya ini menghambat adopsi praktik logistik yang lebih aman dan profesional.

 

Kelelahan yang disebutkan oleh Bapak Wayan Sudiarta adalah salah satu manifestasi dari stres fisik yang dialami hewan selama perjalanan. Literatur ilmiah mengidentifikasi beberapa faktor utama yang berkontribusi terhadap stres pada babi selama pengangkutan, seperti perjalanan yang panjang, perubahan suhu ekstrem, getaran kendaraan, dan kepadatan ruang yang sempit. Stres yang berkepanjangan dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh babi, membuat mereka rentan terhadap penyakit dan bahkan kematian, terlepas dari keberadaan wabah. Hal ini juga dapat menurunkan kualitas karkas, yang menambah kerugian ekonomi bagi peternak dan pedagang.  

 

Infrastruktur dan praktik pengiriman yang ada juga menjadi perhatian. Meskipun terdapat kapal khusus ternak seperti KM Camara Nusantara yang mengedepankan kesejahteraan hewan (animal welfare) , realitas di lapangan mungkin bervariasi. Pengiriman babi dari Lampung ke Sulawesi atau Kalimantan berpotensi menjadi vektor penyebaran penyakit antar-pulau jika tidak dikelola dengan benar. Kendaraan yang terkontaminasi dapat membawa virus ASF dari satu daerah ke daerah lain, memperluas jangkauan wabah. Oleh karena itu, tantangan logistik tidak hanya berkaitan dengan manajemen risiko finansial, tetapi juga dengan pencegahan penyebaran penyakit secara nasional.  

Tantangan

Dampak yang Mungkin Terjadi

Langkah Mitigasi

Stres Hewan

Mortalitas, penurunan kualitas karkas, penurunan berat badan  

Beri pakan dan air yang cukup, beri waktu istirahat, gunakan kendaraan dengan ventilasi baik, dan tangani hewan dengan hati-hati  

Penularan Penyakit

Penyebaran penyakit ke area tujuan, mortalitas tinggi  

Karantina babi sebelum pengiriman, pastikan kendaraan bersih dan didesinfeksi, patuhi regulasi lalu lintas hewan  

Kualitas Transportasi

Cedera pada hewan, stres akibat getaran dan suhu ekstrem  

Gunakan armada khusus ternak yang dirancang untuk animal welfare seperti KM Camara Nusantara  

Regulasi dan Dokumen

Proses pengiriman terhambat, denda atau sanksi

Lengkapi semua sertifikasi kesehatan dan dokumen karantina sesuai peraturan, seperti yang diatur dalam Permentan No. 17/2023  

 

 

6. Peran Regulator dan Kepatuhan: Balai Veteriner Lampung dan Permentan No. 17/2023

Dalam menghadapi tantangan struktural yang kompleks ini, peran regulator menjadi sangat krusial. Balai Veteriner Lampung, sebagai instansi pemerintah di bawah Kementerian Pertanian, memiliki tugas utama yang meliputi penelitian, diagnosa penyakit hewan, pengujian laboratorium, dan pengawasan mutu produk. Balai ini secara aktif terlibat dalam penanggulangan ASF, termasuk melalui kegiatan surveilans dan petunjuk teknis pengendalian penyakit. Mereka tidak hanya menjalankan fungsi penegakan, tetapi juga memposisikan diri sebagai mitra strategis bagi pelaku usaha. Hal ini tercermin dari pernyataan mereka yang "tidak perlu sungkan untuk mengontak dalam memberikan saran," menunjukkan pendekatan kolaboratif yang esensial dalam membangun kepercayaan dan mendorong kepatuhan.  

 

Dorongan Balai Veteriner Lampung agar pelaku usaha mematuhi Peraturan Menteri Pertanian Nomor 17 Tahun 2023 adalah langkah yang sangat strategis. Peraturan ini mengatur "Tata Cara Pengawasan Lalu Lintas Hewan, Produk Hewan, dan Media Pembawa Penyakit Hewan Lainnya di Dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia". Permentan ini hadir sebagai respons langsung terhadap pelajaran yang dipetik dari wabah ASF. Sebelum peraturan ini berlaku, pergerakan ternak dari luar daerah seringkali tidak terkontrol dan dilakukan melalui "jalur tikus," meningkatkan risiko penyebaran penyakit. Dengan adanya peraturan ini, setiap pengiriman hewan, termasuk babi, diwajibkan untuk dilengkapi dengan dokumen persyaratan kesehatan yang ketat, yang bertujuan untuk mencegah penyebaran penyakit menular dan melindungi integritas industri secara keseluruhan.  

 

Keberadaan dan implementasi Permentan No. 17/2023 adalah fondasi bagi pemulihan berkelanjutan. Peraturan ini menyediakan kerangka hukum yang memungkinkan kontrol lalu lintas hewan yang lebih baik, mengurangi pergerakan ilegal, dan mewajibkan validasi status kesehatan hewan melalui sertifikasi. Kepatuhan terhadap peraturan ini tidak hanya mengurangi risiko kerugian individu bagi peternak, tetapi juga melindungi peternakan lain dari ancaman penularan. Kemitraan antara Balai Veteriner sebagai regulator dan pelaku usaha sebagai pelaksana adalah kunci untuk menutup kesenjangan antara kebijakan dan praktik lapangan, memastikan bahwa biosekuriti diterapkan secara efektif dari hulu ke hilir.

 

7. Kesimpulan dan Rekomendasi Strategis

Kondisi pasar babi yang "lesu" di Lampung, klaim disparitas harga dengan Bali, dan pengalaman peternak yang terpuruk bukanlah fenomena yang terisolasi. Laporan ini menunjukkan bahwa semua ini adalah gejala dari tantangan struktural yang jauh lebih besar, yaitu dampak pasca-wabah ASF. Ketidaksesuaian data harga yang mencerminkan fase pemulihan yang berbeda, kegagalan biosekuriti yang dapat menghancurkan seluruh kandang dalam sekejap, dan persepsi risiko yang terdistorsi dalam manajemen logistik adalah manifestasi dari krisis multi-dimensi ini.

 

Untuk membangun kembali industri peternakan babi yang tangguh dan berkelanjutan, diperlukan pendekatan yang terkoordinasi dan multi-lapis. Berdasarkan analisis di atas, berikut adalah rekomendasi strategis yang ditargetkan untuk para pemangku kepentingan:

  • Untuk Peternak dan Pedagang:
  • 1. Peningkatan Biosekuriti: Mengingat kasus penularan dari daging mentah, peternak harus menerapkan protokol biosekuriti yang ketat, termasuk melarang masuknya            produk hewani, bahan pakan sisa, dan orang atau kendaraan yang tidak berkepentingan ke area peternakan.
  • 2. Pemanfaatan Layanan Veteriner: Peternak dan pedagang didorong untuk secara aktif berinteraksi dengan Balai Veteriner Lampung. Layanan seperti pengujian                  diagnostik, bimbingan teknis, dan konsultasi tentang penanggulangan penyakit adalah aset krusial untuk melindungi usaha mereka.
  • 3. Edukasi Berkelanjutan: Peningkatan kesadaran tentang gejala, penularan, dan dampak ekonomi ASF harus terus disosialisasikan. Pemahaman yang lebih baik akan            mendorong praktik pencegahan yang lebih proaktif.

 

  • Untuk Jasa Logistik dan Transportasi:
  • 1.  Kepatuhan Regulasi: Seluruh pelaku jasa pengiriman wajib mematuhi Permentan No. 17/2023 dengan melengkapi dokumen kesehatan dan sertifikasi yang diperlukan.       Hal ini tidak hanya mengurangi risiko denda, tetapi juga melindungi seluruh rantai pasok.
  • 2. Peningkatan Animal Welfare: Investasi dalam praktik pengiriman yang mengedepankan kesejahteraan hewan, seperti penggunaan kendaraan dengan ventilasi baik,            penyediaan air dan pakan, serta istirahat berkala, dapat secara signifikan mengurangi mortalitas dan kerugian ekonomi akibat stres perjalanan.

 

  • Untuk Pemerintah dan Lembaga Terkait (Balai Veteriner):
  • 1. Intensifikasi Sosialisasi Permentan 17/2023: Peningkatan program sosialisasi yang menyasar langsung peternak skala kecil dan menengah sangat penting untuk                  memastikan kepatuhan di tingkat akar rumput.
  • 2. Peningkatan Kapasitas Diagnostik dan Surveilans: Perluasan layanan pengujian dan diagnostik di berbagai wilayah akan memungkinkan deteksi dini wabah dan              respons cepat, yang sangat krusial dalam pengendalian ASF.
  • 3. Fasilitasi Akses Modal: Pemerintah dapat memfasilitasi akses ke bantuan teknis, bibit yang sehat, atau modal finansial bagi peternak yang ingin memulai kembali                usahanya pasca-wabah, sehingga mempercepat laju pemulihan populasi babi secara nasional.

Dari berbagai sumber

KATEGORI


WA Call Center